[112] Optimalisasi Belajar Mengajar di Masa Khalifah al Ma’mun

Al Ma’mun adalah seorang khalifah yang sangat mencintai dan menghormati ilmu. Kecintaannya pada ilmu mendorong dia dalam kapasitasnya sebagai kepala negara untuk mengoptimalkan pembelajaran bagi para murid. Berikut beberapa upaya yang dilakukan oleh Khalifah al Ma’mun dalam mengembangkan aktivitas belajar mengajar:


Belajar langsung dengan syeikh


Para ulama di masa al Ma’mun membentuk halaqah-halaqah. Para murid dipersilahkan untuk memilih halaqah yang dia inginkan sesuai minatnya. Tidak ada paksaan. Pelajaran dibacakan secara langsung oleh syaikh kepada murid-muridnya. Atau syaikh meminta para murid untuk menyalin pelajaran yang telah ditulis oleh syeikh dengan tulisan tangan.


Para murid duduk melingkar sekitar syeikh. Syeikh mengawali pelajaran dengan membaca bismillah dan memuji Allah SWT. Kemudian mendiktekan pelajaran kepada para muridnya. Sang guru membacakannya secara perlahan-lahan. Para muridnya menuliskan apa yang dibacakan oleh guru. Setelah selesai membacakan pelajaran, guru lalu menjelaskan bagian-bagian yang sulit dalam pelajaran yang didiktekan tersebut. Keterangan sang guru ditulis oleh para murid di pinggir kertas. Di akhir pelajaran, guru membaca ulang pelajaran lalu meminta murid untuk membacakan apa yang mereka tulis beserta penjelasannya serta membetulkannya jika ada pelajar yang salah dalam menuliskannya. Dari diktat-diktat inilah lahir kitab-kitab tulisan tangan yang kemudian dicetak menjadi beribu-ribu naskah dan disebarkan hingga menjadi kitab-kitab yang mashur.


Jika ilmu telah selesai diajarkan, guru akan menandatangani naskah atau beberapa naskah yang ditulis oleh murid lalu memberikan keterangan bahwa guru telah membacakan naskah tersebut kepada murid yang bersangkutan. Lalu guru memberikan ijazah kepada murid tersebut. Dengan ijazah tersebut si murid berhak untuk meriwayatkan atau mengajarkan ilmu yang diperolehnya dari sang guru kepada orang lain. Dengan demikian ijazah tidaklah diberikan oleh pihak sekolah, namun syaikhnya-lah yang memberikan secara langsung. Seorang murid yang telah menamatkan pelajaran akan berkata:”Saya telah memperoleh ijazah dari syaikh fulan…” bukan dari sekolah apa.


Murid tidak memilih sekolah yang baik melainkan memilih syaikh yang termashur kealiman dan keshalehannya. Murid bebas memilih guru. Kalo guru tidak memuaskan baginya dia boleh berpindah ke halaqah guru yang lain.


Dari sini tergambar bagaimana nikmatnya menuntut ilmu pada saat itu, bebas memilih guru dan pelajaran yang diinginkan tanpa harus merasa terpaksa sehingga kegiatan belajar menjadi optimal.


Mengembangkan tradisi debat intelektual


Tradisi ini berhasil melahirkan para tokoh yang kritis, cerdas dan berani. Para ilmuwan yang tekun dan telah berhasil mengusai ilmunya berpeluang untuk maju menempati posisi sebagai mufti, penasihat atau tutor di rumah hartawan. Status keilmuan dan status sosial cukup menjadi justifikasi atas kerja keras mereka.


Murid yang paling cerdas berhak menjadi murid membantu syeikhnya. Dia pun berhak mendapatkan ujrah/bayaran agar dapat melanjutkan studinya. Pada sore hari, murid mengulangi pelajaran yang diajarkan syaikh pada sore hari. Dia pun membantu memberikan penjelasan-penjelasan kepada para siswa yang mendapatkan kesulitan dalam pelajaran.


Rihlah ilmiah


Rupanya rihlah ilmiah sudah ada sejak lama. Bahkan banyak dari kaum Muslim saat itu rela meninggalkan rumah mereka untuk menuntut ilmu. Tidak jarang di antara mereka mampu menghasilkan karya dan berhasil melakukan sebuah penyelidikan terhadap suatu ilmu pengetahuan. Wallahu alam bi ashshawab. [] Roni Ruslan


Source: http://mediaumat.com/cermin/4922-112-optimalisasi-belajar-mengajar-di-masa-khalifah-al-mamun.html



0 Response to "[112] Optimalisasi Belajar Mengajar di Masa Khalifah al Ma’mun"

Posting Komentar

Bagaimana menurut kamu??? hmmmmmmmm @_^;