Perspektif
Ahad 16 Syaaban 1435 / 15 Juni 2014 10:15
Masyarakat Hedonis Memilih Presiden
WALAU tidak semua, mari kita generalisir masyarakat Indonesia dari fenomena perpolitikan yang ada. Pertama, sebagai masyarakat Indonesia, dalam berpolitik kita malas untuk bernalar, berfikir runut dan memanfaatkan logika secara baik. Kedua, kita ini jika berpolitik kurang, bahkan boleh dibilang tidak bertanggungjawab, nyoblos tinggal nyoblos, kalau nanti yang dicoblos korup kita lepas tangan. Ketiga sekaligus yang terakhir adalah egoisme yang tinggi. Sejarah politik modern kita penuh dengan pendidikan karakter pundungan alias gampang ngambek, tabiat Ken Arok yang gemar menikam lawan dari belakang pun dijadikan kebiasaan dalam dunia politik kita.
Dari ketiga ciri diatas, dapat kita simpulkan bahwa masyarakat kita adalah masyarakat hedonis. Hedone berasal dari kata Yunani yang artinya “senang” secara inderawi dan syahwati. Hedonisme adalah konsep berfikir bahwa kebenaran dan kebaikan lahir dari kesenangan syahwati indrawi. Sedangkan hedonis adalah praktisi hedonisme.
Sebagai penganut hedonisme, para hedonis berkonsekuensi mengalami pendangkalan nalar dan logika seperti fenomena pertama di atas. Sebabnya sederhana, orang yang hanya gemar memuaskan nafsu, nalarnya akan terhambat di area perut sampai lutut. Hal-hal lain diluar area itu akan dianggap tidak relevan bagi mereka.
Para pemuja hedone ini juga tak bisa diharapkan tanggungjawabnya. Komitmen sebagai pilar utama pengokoh tanggungjawab takkan berjalan bersama hasrat syahwat yang sifatnya fluktuatif dan berubah-ubah. Hari ini doyan tempe, besok mintanya kedelai.
Kalau sudah urusan nafsu di turut, egoisme dijamin akan meledak-ledak. Lingkungan dianggap tidak ada, orang sekitar dianggap batu. Demi memuaskan hedone nya, segala cara dilakukan dan dibenarkan. Manusia macam ini akan bertindak lebih liar dari macan kelaparan.
Jika masyarakat yang nalarnya plintat-plintut saja sudah mengkhawatirkan kalau memilih pemimpin, apalagi masyarakat hedonis macam begini.
Memperbaiki Masyarakat Lahirkan Pemimpin Harapan
Entah karena terlalu banyak nonton sinetron mistik atau acara perdukunan, kita selalu berfikir bahwa ujug-ujug, akan muncul seorang pemimpin yang langsung merubah negara miskin menjadi sejahtera. Dalam benak kita seringkali tergambar bahwa pemimpin ideal adalah pemimpin a la one man show yang semua persoalan digarap dan di selesaikan sendiri.
Jika kaum Yahudi berharap turunnya Messiah sebagai tokoh perubah zaman, Indonesia menaruh harapannya kepada sosok Satrio Piningit. Beda dengan Yahudi yang rela mempersiapkan kedatangan sang Messiah sampai harus merampok tanah Palestina, orang Indonesia menyambut kedatangan Satrio Piningit dengan ongkang-ongkang kaki. Katakanlah ada beberapa gelintir orang yang rela melakukan tirakat serta lelakon tertentu untuk melancarkan datangnya Satrio Piningit, tapi apa iya Satrio Piningit mau datang kepada bangsa yang bahkan tidak serius mau menerima “penyelamat”.
Di Pilpres ini kita memuji idola dan mencaci lawan, tapi luput untuk peduli pada masyarakat sekitar sebagai rahim utama yang melahirkan pemimpin-pemimpin ini.
Mari ingat baik-baik, pemimpin sekelas Al Fatih dan Shalahuddin Al Ayyub adalah hasil dari proses kristalisasi kerja dan gembelengan ulama-ulama besar kepada masyarakat luas. Proses didikan serta gemblengan ulama-ulama ini tidak berjalan setahun dua tahun, plus, ulama-ulama ini juga disiapkan dalam waktu yang tidak sebentar.
Artinya, mengkonstruk blue print perencanaan 100 tahun Indonesia di masa yang akan datang lebih layak mengisi otak kita dan orang-orang sekitar kita daripada sibuk sok eksis menjadi jurkam dadakan yang capek teriak tapi tak dapat apa-apa.
Perencanaan jangka panjang, selain butuh pemikiran mendalam juga butuh kesabaran ekstra. Kita sebagai generasi instan yang senang dengan kepuasan yang cepat perlu banyak berlatih sabar. Sebagai generasi yang dibesarkan dengan kejar-kejaran, baik dengan deadline atau debt collector, harus berlatih tenang dan tekun. Pelan-pelan kita pupus mental grasa-grusu. Toh kita faham, bahwa ketergesa-gesaan datangnya dari setan.
Mari, pelan-pelan kita perbaiki nalar, pemahaman dan cara berfikir masyarakat ini yang kadung plintat-plintut. Bisa kita mulai dengan diam, sebab seringkali permasalahan timbul ketika orang yang tidak memiliki ilmu terlalu banyak bicara. Jika Anda sudah tidak tahan untuk diam dan ingin bicara, baiknya pelan-pelan menuntut ilmu dulu. Dan ketika Anda sudah merasa punya ilmu lantas tetap ingin bicara, pelan-pelan belajar adab dulu.
HABIS
Redaktur: Saad Saefullah
Source: http://ift.tt/1vjGPQo
Category: frontpage
0 Response to "Presiden untuk Kaum Hedonis (2-Habis)"
Posting Komentar
Bagaimana menurut kamu??? hmmmmmmmm @_^;