Perspektif
Ahad 16 Syaaban 1435 / 15 Juni 2014 09:45
MAKIN dekat hari menuju Pemilihan Presiden Indonesia, makin ramai suasana dibuatnya. Sahut-menyahut suara dukungan, sindiran, pujian dan cacian menjadi rutinitas khas. Batas-batas tabu, adab dan sopan santun seolah disimpan sejenak dalam lemari. “Politik itu busuk” menjadi kredo sebagian orang untuk menghalalkan segala cara meraih dukungan. Sadar tidak sadar, kita telah membusukkan masyarakat kita dengan mengamini kredo tersebut.
Bayangkan jika betul politik itu busuk, maka seluruh prosesi formalitas pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden ini adalah upaya massif menjerat rakyat dalam kubangan kebusukan. Ketika kita menggembar-gemborkan bahwa politik itu busuk, di saat yang sama kita menyerukan perbaikan, kebaikan dan harapan-harapan manis lewat jalur politik.
Sadar tidak sadar, kita membodohi diri sendiri dan orang-orang di sekitar kita.
Masyarakat Indonesia tampaknya belum cukup berani untuk menyatakan bahwa politik adalah sarana mulia memajukan peradaban. Di sini, masyrakat kita takut untuk mengatakan bahwa politik adalah tangga untuk mengangkat derajat manusia dalam sebuah negara.
Alih-alih menunjukkan keberanian untuk mengonsep politik yang agung, kita lebih betah melihat politik sebagai arena intrik. Politik terasa lebih akrab jika dipandang sebagai dunia penuh tipu daya. Dalam titik ekstrim, politik kerap disandingkan erat dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Walau sudah berlarut-larut terjebak dalam kontradiksi berfikir macam ini, nyatanya kita tetap betah dan enggan berubah. Setiap musim pemilu, kita menjelma menjadi jurkam dadakan, menjaja slogan tanpa paham konsep dan makna kepemimpinan. Jikapun ada beberapa orang yang merasa ada ketidakberesan dalam kondisi ini, mayoritas hanya mampu terjebak dalam diam bernama golput.
Pemimpin Cermin Rakyat
Demokrasi Indonesia sering menggunakan dalil vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. Lewat dalil ini, kita secara sadar menyetarakan nalar kita dengan nalar kaum pagan penyembah berhala, kenapa?
Jika kaum pagan terdahulu membuat tuhan-tuhan dari patung, kayu, pohon, batu dan aneka macam benda, kaum pagan modern membuat tuhan-tuhan lewat “suara”, lewat voting. Para pemimpin yang dihasilkan lewat voting inilah penjelmaan berhala baru. Bedanya dengan berhala-berhala lampau, berhala baru ini memiliki kemampuan maneuver yang baik. Bisa pidato, bisa blusukan, bisa naik kuda, dan tentunya bisa “merakyat”.
Kembali pada kondisi masyarakat Indonesia yang sering plintat-plintut dalam bernalar, kita bisa mengira-ngira, berhala macam apa yang akan dilahirkan dari masyarakat yang sedemikian.
Perlu dipahami kiranya, bahwa baik kaum pagan terdahulu maupun kaum pagan modern dengan mantra vox populi vox dei nya, tidak pernah membuat berhala untuk menjadi sosok yang disembah, ditaati, dan dimuliakan. Berhala bagi kaum pagan sesungguhnya berfungsi sebagai babu.
Kita bisa merujuk Yunani kuno yang penuh dengan kisah-kisah manusia “melawan” Dewa. Perlawanan ini lahir karena para Dewa dianggap tidak mampu menuruti kehendak manusia (biasanya dikamuflase dengan frasa “Dewa menindas manusia”).
Jika kisah-kisah dari Yunani kuno kurang menarik, mari beralih ke Romawi. Caligula, kaisar Romawi, suatu ketika menyatakan perang dengan Okeanos/Neptunus/Poseidon, Dewa Samudera berdasarkan impuls pribadinya sendiri. Caligula bahkan memberi titah pada para prajuritnya untuk melemparkan lembing ke arah lautan dan menusuk-nusuk air.
Berhala masa kini pun nasibnya tak jauh beda. Bayangkan, Presiden yang terpilih lewat pemilihan langsung dengan suara mayoritas (60% lebih total suara nasional) habis dicaci ketika banyak koleganya terlibat korupsi. Lucunya mereka yang mencaci mayoritas adalah pemilih sang Presiden.
Pemimpin yang tidak bertanggung jawab lahir dari para pemilih yang tidak bertanggung jawab pula.
BERSAMBUNG
Redaktur: Azeza Ibrahim
Source: http://ift.tt/1vjxAQk
Category: frontpage
0 Response to "Presiden untuk Kaum Hedonis (1)"
Posting Komentar
Bagaimana menurut kamu??? hmmmmmmmm @_^;