Sabtu, 14/06/2014 17:47:05 | Dibaca : 50
Pengajian di lokalisasi Dolly sebagai upaya pembinaan terhadap para pelacur sebelum lokalisasi ini ditutup.
Surabaya (SI Online) - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memastikan tidak berkeberatan dan mendukung dengan rencana penutupan dua lokalkisasi besar di Surabaya —Dolly dan Jarak dengan catatan; asal penutupan tersebut tidak dilakukan dengan kekerasan, dan tetap dapat menjamin sumber kehidupan ekonomi warga penghuni maupun warga terdampak.
Dianto Bachriadi, Komisioner Komnas HAM memaparkan itu Jumat kemarin (13 Juni), setelah sebelumnya berdiskusi dengan Walikota Surabaya Tri Rismaharini, yang didampingi sebuah tim yang terdiri beberapa pejabat Pemerintah Kota Surabaya dari Satuan Kerja terkait.
Hadir dan terlibat dalam diskusi ini, sejumlah Ketua RT dan RW dari lingkungan dua lokalisasi—Dolly dan Jarak di Kelurahan Putat Jaya Kecamatan Sawahan, juga beberapa bekas PSK dan Mucikari yang sebelum ini lokalisasinya sudah ditutup, dan telah berhasil alih profesi.
Seperti dikutip Harian Jawa Pos, Dianto Bachriadi mengaku berada di Surabaya, khusus untuk mengawal pelaksanaan kebijakan Pemerintah Kota Surabaya—terkait dengan deklarasi penutupan dua lokalisasi, agar tidak sampai menimbulkan pelanggaran HAM. Juga untuk menguatkan posisi Pemerintah agar tetap menjamin HAM terlaksana hingga pasca deklarasi penutupan dua lokalisasi terbesar itu pada Rabu (18 Juni) mendatang. “Kalau itu dapat dijamin, ya monggo dilaksanakan kami support,” ungkapnya.
Mengikuti pelaksanaan penutupan lokalisasi Dolly dan Jarak, pada kesempatan itu Walikota Surabaya Tri Rismaharini menjamin, tidak akan ada satu-pun bentuk pelanggaran HAM. “Silakan diperhatikan dan bahkan diikuti. Kami menjamin tidak ada pelanggaran HAM dari peresmian penutupan lokalisasi Dolly dan Jarak,” tegasnya.
Harian Surya mengutip Walikota, yang kemudian membeber fakta-fakta seputar alasan atau latar belakang harus dilakukan penutupan lokalisasi Dolly dan Jarak. Diantara fakta disebutkan, Dolly dan Jarak, selain sebagai lokalisasi prostitusi, juga sebagai tempat perdagangan manusia yang selama ini berjalan secara bebas.
Fakta berikutnya; di dua lokalisasi tersebut banyak anak yang dirampas haknya untuk memperoleh pendidikan yang layak. Berdasar data; Umumnya pendidikan anak-anak lokalisasi; tertinggi hanya mencapai jenjang pendidikan SMA. Bahkan sebagian besar menempuh pendidikan hanya sampai SMP. Karena mereeka menilai, tingginya pendidikan tidak ada gunanya, jika bagi anak yang perempuan pada akhirnya bekerja sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK) dan bagi anak-anak lelaki, pada yang umumnya kemudian menjadi tenaga kerja di wisma-wisma.
Suara Islam Online berhasil menghimpun keterangan; baik anak lelaki maupun perempuan di dua lokalisasi, sebagain besar adalah anak dari PSK—buah hubungan dengan lelaki yang dilayani. Bahkan tidak sedikit dari anak-anak tersebut, sudah tidak jelas lagi orang tua (Ibu)- nya, karena sudah tidak jelas posisinya setelah meninggalkan lokalisasi. Para mucikari, atau siapapun yang kemudian menjadi orang tua asuh dari anak-anak dengan kategori demikian—-tidak terlalu memikirkan pentingnya pendidikan, bahkan yang terpikir; hanya bagaimana secepatnya dapat meng-eksploitasi anak-anak tersebut, untuk meraup keuntungan dengan sangat tidak manusiawi.
Dihadang dan Intimidasi
Sedang bentuk perdagangan bebas manusia sebagai disinggung Walikota, berhasil diperoleh keterangan diantaranya berbentuk mucikari layaknya “membeli” kepada pihak tertentu yang menghantarkan seseorang perempuan belia untuk dijadikan PSK. Perempuan demikian ini, tidak sedikit sebenarnya sebagai korban penipuan, dari pelosok desa, tergiur janji untuk diberikan pekerjaan di kota.
Bentuk perdagangan yang lain; PSK bekerja layaknya dieksploitir. Tidak diperkenankan menerima langsung “ongkos” dari lelaki yang telah dilayani. Menurut keterangan, PSK rata-rata tertinggi hanya memperoleh bagian 30 persen. Sejumlah 70 persen lainnya, sebagian besar untuk mucikari, yang merinci juga untuk jasa layanan wisma hingga sewa kamar wisma.
Pada bagian lain menurut Dianto Bachriadi, Komnas HAM mencatat; deklarasi pada Rabu 18 Juni bukan merupakan akhir dari keberadaan dua lokalisasi—Dolly dan Jarak. Deklarasi tidak langsung menutup lokalisasi secara penuh. Melainkan, penutupan itu justru menjadi awal bagi Pemerintah Kota Surabaya untuk menjalankan program untuk membawa dan mengantar PSK dan Mucikari alih profesi, serta pada tempat-tempat bekas lokalisasi itu memasuki program untuk alih fungsi.
“Pada masa-masa tersebut, Pemerintah Kota Surabaya diharapkan dapat bekerja maksimal untuk memberdayakan ekonomi warga ,” ungkap Dianto Bachriadi.
Dalam kesempatan diskusi tersebut, juga dipaparkan alih profesi yang telah dilakukan Pemerintah Kota Surabaya terhadap bekas PSK dan Mucikari yang lokalisasinya telah ditutup sebelum ini. Diantaranya ada yang telah berhasil mengembangkan industri kecil pembuatan telur asin; ada yang menjadi pedagang telur dengan omzet yang sudah mampu menjadikan mandiri, ada pula yang mengembangkan ketrampilan yang diperoleh dari pelatihan pembuatan kosetan (keset). Ada pula yang kini telah memiliki tempat usaha layanan laundry.
Walikota mengungkapkan, untuk dua lokalisasi —-Dolly dan Jarak, jauh sebelum pelaksanaan deklarasi; Pemerintah Kota Surabaya telah berusaha menggelar pelatihan ketrampilan. Tetapi pelatihan yang dilaksanakan senantiasa ditentang oleh sebagian warga. Para pelatih yang hendak masuk ke lokalisasi, dihadang. PSK dan warga terdampak yang mengikuti pelatihan kemudian diintimidasi. “Mana sebenarnya yang melanggar HAM? Mereka yang menghadang? Atau mereka yang berubah menjadi lebih baik–yang malah selalu dihalang-halangi?,” tutur Walikota, agaknya ditujukan kepada pihak-pihak yang telah membawa (melaporkan) rencana penutupan ini kepada Komnas HAM.
Penghadangan, perlawanan warga—atau apapun bentuknya, tegas Walikota, tidak sedikitpun membuat ciut nyali Pemerintah Kota Surabaya, sehingga mengambil langkah surut. Pemerintah Kota Surabaya, sudah pantang mundur. Jadwal penutupan-pun justru dimajukan sehari dari rencana. Berbagai usaha, tetap dilakukan untuk memberi pelatihan ketrampilan, dan pendampingan bagi Mucikari dan PSK yang hendak alih profesi. Bahkan, PSK yang menyatakan hendak mengikuti pelatihan, ada pula yang sampai dijemput satu per-satu, dihantar ke tempat pelatihan.
Semua mendapat perlakuan yang sama. Kendati sebenarnya lebih dari 90 persen penghuni (terutama PSK) bukan asli Surabaya. Mereka berdatangan dari berbagai daerah di Jawa Timur, bahkan ada dari propinsi lain, dan juga dari pulau-pulau lain. “Setelah penutupan, Pemerintah Kota Surabaya, tetap perduli dengan mereka. Dosa saya akan lebih berat, kalau mereka menjadi tidak dapat makan,” kata Walikota dengan logat Surabaya.
Rep : Muhammad Halwan
Sumber : Harian Jawa Pos Koran dan Harian Surya
Baca Juga
- Rukyatul Hilal untuk Menetapkan Awal Ramadhan
- Maju Sehari, 18 Juni Pelacuran Dolly Ditutup
- Rhoma Irama dan Fahmi Tamami Dukung Prabowo-Hatta
- Komnas HAM tak Punya Mandat Rekomendasikan Capres Bebas Pelanggaran HAM
- Iwan Fals Bantah Dukung Jokowi
Source: http://ift.tt/1hTCr8d
Category: frontpage
0 Response to "Komnas HAM Dukung Penutupan Dolly"
Posting Komentar
Bagaimana menurut kamu??? hmmmmmmmm @_^;