Mari Upayakan Kebaikan Meski Diawali dengan Pemaksaan


MENJADI Muslim sejati bukanlah perkara mudah. Ada banyak tantangan sekaligus rintangan. Terlebih kebaikan tidak mungkin hadir kecuali dengan pembiasaan dan ketekunan. Oleh karena itu, strategi terbaik untuk terus-menerus meningkatkan kualitas iman dan Islam kita tiada lain kecuali dengan semangat melakukan pembiasaan, yang kadang kala harus dilakukan dengan sedikit pemaksaan.


Dalam satu haditsnya Rasulullah bersabda, “Kebaikan itu tradisi sedangkan keburukan terjadi karena ada kebutuhan. Barang siapa dikehendaki mendapat kebaikan oleh Allah, niscaya Dia menjadikannya mengerti dalam hal agama.” (HR. Ibn Majah).


Dalam Kitab Ihya Ulumuddin, Imam Ghazali mengatakan bahwa, “Siapa saja yang di dalam pangkal fitrahnya belum didapati sifat baik, misalnya, maka hendaklah ia memaksakan diri berbuat baik; barang siapa yang tidak diciptakan memiliki sifat tawadhu, hendaklah ia berusaha keras bersifat tawadhu sampai terbiasa.


Demikian pula mengenai sifat-sifat yang lain, harus diterapi dengan melakukan kebalikannya sampai tujuan baik tercapai. Dengan cara melaksanakan ibadah secara kontinyu dan melawan syahwat dengan terus-menerus warna batin akan menjadi menarik.”


Dari hadits dan penjelasan Imam Ghazali tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang Muslim untuk menuju kesempurnaan iman dan takwanya memang tidak bisa menempuh jalur apa pun, kecuali memiliki tekad kuat untuk membiasakan dirinya tunduk pada ketentuan syariah Allah sebagaimana telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم.


Oleh karena itu, dapat dipahami dengan jelas hikmah dari diwajibkannya sholat lima waktu dalam sehari semalam. Semua itu adalah sarana agar setiap Muslim memiliki kebiasaan baik yang dapat mencegahnya dari berbuat zalim dan tercela.


Bahkan, Rasulullah senantiasa berusaha menanamkan kebiasaan baik ini dalam setiap waktu. Di malam hari, beliau sholat malam hingga bengkak tapak kakinya. Di siang hari beliau tak pernah berhenti dari jihad fi sabilillah, dan sehari semalam, beliau tak pernah lepas sholat tepat waktu secara berjama’ah.


Dalam dunia sepakbola pembiasaan ini dikenal dengan latihan, yang tidak boleh seorang pemain pun tidak mengikuti sesi latihan ini. Siapa yang tidak latihan, kemungkinan besar akan mendapatkan sanksi dari pelatih. Sebab, latihan akan sangat menentukan jalannya pertandingan bahkan perolehan kemenangan.


Jika, mereka yang hanya tergerak melakukan sesuatu hanya demi profesi dan materi begitu gigih berlatih dan membiasakan diri dengan segala macam aturan dan kedisiplinan, mengapa, kita yang sebagai Muslim tidak benar-benar giat dalam berlatih, membiasakan diri mengamalkan syariah Allah dengan penuh kedisiplinan?


Di sinilah, kita perlu menata diri kembali, bagaimana sebisa mungkin mampu menjadi Muslim yang memiliki kebiasaan baik sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin susah dan lelah, tapi ahli hikmah telah mengatakan, “Kulihat kenyamanan besar tak bisa diraih selain dengan jembatan kelelahan.”


Ibadah, mungkin lezat bagi yang sudah terbiasa dan merasakan manfaatnya. Tetapi tidak demikian bagi yang belum terbiasa. Oleh karena itu Ibnu Qayyim berkata, “Suatu yang bermanfaat bagi manusia, rata-rata tidak mengenakkan, namun suatu yang membahayakan rata-rata mengasyikkan, dan sebab kehancurannya adalah suatu hal yang menyenangkan.”


Bangun di tengah malam misalnya, jelas ini bukan perkara yang asyik bagi yang belum terbiasa, tetapi siapa yang mampu membiasakan diri bangun malam, niscaya momentum tengah malam itu akan sangat menyenangkan. Sebab, ada manfaat langsung yang dirasakan ketika melakukan amalan sunnah Nabi yang utama itu.


Seperti orang yang baru belajar mengemudikan mobil. Ketika ia baru belajar, seluruh pikirannya seolah berada dalam tekanan. Tangan, kaki bahkan leher nampak seperti sangat kaku. Menginjak pedal gas pun ragu-ragu, apalagi ketika harus menginjak dan melepas pedal kopling. Tetapi, seiring dengan kerasnya latihan, akhirnya mengemudikan mobil sama sekali bukan beban.


Membiasaan Kebaikan


Siapapun pasti ingin sukses, kebiasaan baik adalah kuncinya. Ibn Athaillah berkata, “Bagaimana mungkin engkau mendapat hal luar biasa, sementara engkau belum mengubah kebiasaan burukmu?”


Dalam hal menuntut ilmu apa yang dilakukan oleh Abu Bakar Al-Abhari Al-Muhaddits layak diteladani. Ia berkata, “Aku membaca mukhtashar Ibnu Abdul Hakam 500 kali, Kitab Al-Asadiyah 75 kali, Al-Muwatha’ 45 kali, dan Mukhtasar Al-Barqi 70 kali, serta Al-Mabsuth 30 kali.” Sementara itu, khusus di Bulan Ramadhan, Imam Syafi’i tidak pernah lepas dari 60 kali menghatamkan al-Qur’an.


Lebih jauh dari masa tabi’in adalah masa sahabat Rasulullah. Para sahabat Nabi itu memiliki kebiasaan yang sangat sederhana tetapi sangat mengagumkan. Kala mempelajari al-Qur’an, para sahabat Nabi ini tidak serta merta membaca dan mengkaji semua ayat. Tetapi mereka mempelajari al-Qur’an sepuluh ayat demi sepuluh ayat. Setelah memahami dan mengamalkannya, barulah mereka menambah pelajaran al-Qur’annya.


Rasulullah mengingatkan kita, “Bersegeralah untuk beramal, jangan menundanya hingga datang tujuh perkara. Apakah akan terus kamu tunda untuk beramal kecuali jika sudah datang: kemiskinan yang membuatmu lupa, kekayaan yang membuatmu berbuat melebihi batas, sakit yang merusakmu, usia lanjut yang membuatmu pikun, kematian yang tiba-tiba menjemputmu, dajjal, suatu perkara gaib terburuk yang ditunggu, saat kiamat, saat bencana yang lebih dahsyat dan siksanya yang amat pedih.” (HR. Tirmidzi).


Sebagian dari kita mungkin merasa biasa saja tidak membaca al-Qur’an sehari, tidak bangun malam, atau bahkan mungkin tidak bersedekah. Padahal, selamanya kita tidak akan mampu membaca al-Qur’an setiap hari, bangun di tengah malam, apalagi sedekah setiap hari, manakala memang tidak ada niat kuat dalam diri kita sendiri.


Sampai-sampai, Nabi harus sholat sunnah 12 rakaat di siang hari manakala ada malam harinya beliau lewati tanpa tahajjud. Semua itu adalah wujud nyata kesungguhan beliau dalam membiasakan diri berbuat baik. Tidakkah kita ingin mengikutinya?


Untuk itu, perlu adanya paksaan dalam diri kita sendiri agar mampu melakukan kebiasaan amalan baik. Mungkin, pada awalnya akan sangat berat, tetapi seiring berjalannya waktu, hal itu akan menjadi biasa dan insya Allah kita akan memperoleh manfaat luar biasa, baik dunia maupun akhirat.*



Source: http://www.hidayatullah.com/read/2013/10/30/7073/mari-upayakan-kebaikan-meski-diawali-dengan-pemaksaan.html



0 Response to "Mari Upayakan Kebaikan Meski Diawali dengan Pemaksaan"

Posting Komentar

Bagaimana menurut kamu??? hmmmmmmmm @_^;