Islam Mancanegara
Ahad 16 Syaaban 1435 / 15 Juni 2014 18:30
“BISMILLAH,” aku mengucap basmalah dan mulai melakukan kegiatan yang sama dengan beberapa penumpang lain. Abdullah telah selesai dengan kerja rongga dan rahang mulut. Ia tersenyum padaku.
“Abang, aku tak bisa makan apel ini. Kurasa perutku sudah penuh. Boleh aku simpan di dalam tas?” Suaraku terdengar yakin saat menyampaikan informasi itu kepadanya.
“Tentu saja,” jawabnya singkat disertai senyum.
Setelah telingaku menangkap kalimat singkat dari suaranya, tanpa malu aku pun mulai menyembunyikan apel ranum itu dalam tas tangan yang kubawa dari Indonesia. “Hmm! ini kan punyaku. Hanya saja saat ini aku tak sanggup menguyah,” aku membatin membenarkan tindakanku.
Aku tak tahu bahwa ternyata banyak sekali buah apel di Polandia. Harganya pun terbilang murah. Mungkin itulah mengapa Abdullah tersenyum saat mendengar kalimat tanya dari mulutku.”Biarkan saja! toh itu jatahku.” Kata- kata itu mendukung tindakanku.
****
Setelah hampir satu jam berada di tengah horizon. Menembus lapisan-lapisan awan berkabut. Pemandangan penumpang yang terantuk-antuk. Saatnya ketegangan lain muncul. Burung besi ini sebentar lagi akan mendarat.
Betapapun sering aku menaiki burung besi. Peristiwa lepas-landas dan pendaratan adalah dua hal yang seakan membuat jantungku berdebar. Mendebarkan. Detik-detiknya menjadi rumit dalam rasa dan pikiran. Aku pun mulai mengucap kalimat hauqolah. “Laa haula wala quwwata illaa billahi.”
Saat pesawat bergerak, mendongak ke atas, aku disergap ketakutan. Dibungkus rasa khawatir. Wajahku berkerut. Adrenalin pun melonjak. Bagaimana tidak, beberapa detik yang lalu ia terbang lurus dan tiba-tiba gerak tubuhnya mendongak lagi dengan kemiringan sekian derajat.
Aku yakin saat seperti ini si’ burung besi ‘membutuhkan tenaga maha dasyat guna melontarkan badannya ke atas melawan sunnatullah, gaya grafitasi bumi yang tak bisa dilawan. Belum lagi garis cakrawala yang terlihat menakjubkan seakan membuat kepalaku seperti didorong -dorong.
Ini belum selesai. Telingaku terpekak. Gigiku mengalami ngilu luar biasa. Dalam masa yang bersamaan mataku menangkap lampu tanda bahaya belum dipadamkan. Saat itu aku mengalami keindahan, kecerdasan yang lain. Jiwaku berlari secepat kilat mencari kekuatan maha besar untuk bertumpu,Allah Tuhan Pemilik Langit dan Bumi.
Lepas landas, peristiwa mengayuh burung besi untuk mengangkasa begitu mempesona. Tetapi ada sebuah keindahan yang lain. Penuh arti. Berarti.Menyatu pada hati manusia yang terasing satu dengan yang lain. Tak saling kenal.Andai pun kenal itu karena hati telah menyatu di darat. Aku dan lelaki asing yang berada dekat telah mengenal dengan lekat.Sedangkan yang lain memiliki tautan hati yang berbeda. Kami hanya menunggu peristiwa yang sama,mendarat.
Aku, lelaki asingku sudah tak sabar bersua dengan orang-orang terkasih di Warsawa. Kini kami menyatu dengan pikiran yang lain. Sang pengemudi, para penumpang yang sibuk dengan pikiran masing-masing terikat tujuan yang sama, pendaratan.
Suara gemuruh mesin itu datang lagi. Getaran hebat menyelimuti semua sisi.Kurasakan ada aura ketakutan pada wajah-wajah tegang di sekeliling. Apalagi saat tubuh burung besi bergerak kekiri,sebentar kemudian dalam hitungan detik tubuhnya miring ke kanan. Warna langit masih tetap sama.
Takdir manusia berada di darat. Bagaimana pun ambisi memaksanya untuk terbang. Ia akan dipaksa oleh hukum Ilahi, menepikan hidupnya ke darat. Sang astronot, pengemudi burung besi yang gagah. Secinta apapun mereka pada keindahan dirgantara, takkan ada yang bisa tinggal lama di angkasa. Mereka pasti kembali ke darat. Begitu pula perjalanan takdir yang menantiku. Di daratan ini, tanah sang penyair.
Setengah jam sudah Lot Polish Airlines berputar-putar dalam kabut musim dingin. Melalui serangkain peristiwa. Bermanuver. Menembus lapisan awan yang terlihat samar-samar. Perlahan-lahan sang pilot menemukan titik koordinat yang tepat. Ban belakang burung pesawat tepat menyentuh tanah. Aku dan Abdullah serempak mengucap hamdalah. Kami mendarat.
****
Getaran itu mulai lenyap.Bunyi dengung dalam rumah siputku perlahan hilang. Sebuah suara dalam bahasa negeri ini mengabarkan bahwa aku telah berada di tanah sang penyair. Kelak di masa depan kami akan berpapasan dalam titik hidup di tanggal dan bulan yang sama di angka tahun masehi. Aku di ranjang putih di Warsawa. Ia terbaring merebah selamanya dalam pelukan bumi di tanah Krakow.
Tak ada yang bisa melawan kehendak waktu. Tak ada yang mampu melawan kehendak pemilik waktu. Begitulah kiranya kisah masa depan yang menanti jejakku dan jejak akhir sang penyair.
Aku perempuan asing. Ia perempuan tanah negerinya. Kelak di musim dingin, kami sama-sama perempuan yang berjalan lurus mengikuti garis hidup. Wajah pucat dan tubuh yang lemah adalah sepasang tanda garis pada titik yang berbeda. Aku muslimah yang berjuang atas nama keyakinan dan rahim, ia sang penyair yang berjuang atas nama keyakinanannya dengan kalimat-kalimat indah yang akan terus dikenang. Titik juangnya telah berakhir.
“Kochanie… Alhamdulillah we already arrive,” suara Abdullah memanggil sayang padaku.
Aku masih tak percaya. Tubuhku belum terangkat dari kursi. Pandanganku masih diliputi keindahan ketidakpastian.
“Semuanya indah. Entah mengapa keindahan ini tiba-tiba menjadi asing. Hambar. Tak ada keramahan,” dialog sunyi batinku datang menyergap saat orang-orang mulai sibuk mengambil tas yang berada di atas kabin pesawat.
” Ainna……” kembali suara Abdullah memanggilku.
Aku tersadar dari lamunanku. Perlahan-lahan aku membetulkan kerudungku yang mulai nampak bertingkah. Abdullah telah berdiri mengambil dua koper kecil yang berada tepat di atas kepala. Sesekali arus keluar penumpang membuatnya berhenti. Kami memutuskan untuk menunggu saja sampai beberapa penumpang telah keluar.
Setelah mengemasi tas tangan dan koper dari atas kabin. Kami mengikuti gerak langkah penumpang lain yang berangsur-angsur menaiki bus yang sudah disediakan di depan pesawat. Bus ini akan mengantarkan kami ke Terminal 2, tempat untuk mengambil koper-koper yang telah melalui perjalanan panjang nan melelahkan. Mereka seperti kami memulai perjalanan dengan rute Jakarta-Abu Dhabi-Frankfurt dan berakhir di Warsawa.
Bus melaju membelah musim dingin. Aku menepi jejak di tanah ini. Sebuah tulisan besar terpampang dengan jelas walau saat itu langit tetap berwarna abu-abu ‘ Welcome to Warsaw Chopin Airport’. Salju tak datang menyambutku. Ini awal musim dingin.
Di dalam bus aku tak menghiraukan orang-orang dari ras suamiku. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Tanganku sedikit berekeringat. Ini pertama kali aku bertemu dengan keluarga Abdullah setelah pernikahan yang telah berjalan hampir satu setengah tahun lamanya.
“Bagaimana aku harus bersikap ?” tanyaku pada diri sendiri.
Suamiku telah memberitahuku kalau yang datang menjemput bukan saja kedua mertuaku melainkan kakak ipar perempuan bersama suaminya. Tak lupa pula seorang paman yang akan membantu mengangkut koper-koper kami karena tak akan muat di mobil bapak mertua.
Setelah turun dari bus, kami melangkah mengikuti penumpang lain yang berada di depan menuju areal ‘ Baggage Claim’ di Terminal 2 di Bandara Frederick Chopin Warsawa. Seperti sebuah langkah yang tak asing. Kakiku mengikuti Abdullah. Kami berdiri hampir dua puluh menit lamanya sampai satu-persatu koper telah diletakkan di trolly besi yang cukup besar.
“Ainna, kau ingin ke kamar kecil? Aku bisa menunggumu terlebih dahulu. Kalau kau mau bisa sekalian mengganti abaya dan kerudung. Aku akan menelpon mama, memberitahukan kepada mereka beberapa menit lagi kita akan keluar terminal,” suamiku berkata sambil menunjuk sebuah toilet di sudut terminal.
“Ok, Abang. Aku akan ke kamar kecil duluan sekalian mengganti abaya dan kerudung,” tanganku memegang abaya berwarna coklat cream dan kerudung dengan corak bunga yang sama.
Usai kegiatan bersih-bersih ala kadarnya, kami melangkah meninggalkan areal terminal. Semakin dekat pada titik pertemuan, degup jantungku semakin kencang. Telapak tanganku nampak basah. Abdullah mendorong trolly. Aku berjalan beriringan dengannya.
Kacamata hitam yang kupakai sepertinya tak sesuai dengan musim dingin saat itu. Dan lagi, sepertinya ia tak bisa membantu menutupi rasa gugupku. Beberapa mata nampak mencuri pandang ke arah kami.
“A’udzu bikalimaatillaahit taammaati min syarri maa khalaq,” aku mengucap lirih saat berada di luar bandara. Tak ada keberanian menatap orang-orang di sekeliling seperti biasanya atau melakukan kebiasaanku berlakon layaknya sang juru foto, memotret sana-sini dengan kamera saku yang berada dekat di samping.
” Mama……….” suamiku memanggil seorang wanita paruh baya berambut pirang dengan dandanan anggun yang sepadan. Coat hitamnya serasi dengan sepatu bootnya. Orang-orang yang berada di samping ikut menoleh. Mereka melambaikan tangan. Sebuah senyum menyambut kedatangan kami.
Perasaanku semakin tak karuan.Tak tahu harus mengucap apa terlebih dahulu. Mustahil aku mengucap salam. Pikiranku mulai berdebat.
“Mungkin menanyakan kabar,” suara baru muncul.
“Tak baik. Kau kan tak bisa berbahasa Polandia,” suaru yang lain mematahkan suara pertama.
“Sebaiknya cium tangan saja terlebih dahulu sebagai tanda hormat,” suara ketiga memberi pencerahan.
Secepat kilat aku mengganguk setuju dengan suara ketiga.
“Ok, aku akan mencium tangan terlebih dahulu.”
Langkah kami semakin dekat. Tepian mataku tersenyum meyakinkan. Aku masih dilanda kebingungan. Trolly yang didorongnya berhenti tepat di depan mereka. Seorang wanita cantik dengan garis wajah yang mirip dengan suamiku memberi setangkai bunga warna-warni yang nampak segar dan sedikit basah.
Aku menjadi salah tingkah. Ia memelukku. Abdullah memeluk wanita itu. Beberapa detik kemudian, lelaki paruh baya di samping wanita itu memeluk suamiku. Suasana saat itu seperti sebuah penyambutan yang indah.
Aku muslimah, perempuan asing yang kini berada dalam nada hidup yang lain. Suhu udara yang melebihi suhu kulkas tak kuhiraukan. Aku melangkah mendekati wanita itu dan kemudian tanganku dengan cekatan mengambil tangannya dan mendekatkan ke arah wajahku.
“Alhamdulillah aku berhasil mencium tangannya,” hatiku bersorak gembira.
Saat mataku beradu pandang dengannya kutangkap air wajah yang tak menyenangkan.Ia tak suka aku mencium tangannya.
” Abang…. kau harus bertanggung jawab! Kenapa tak mengatakan dari tadi kalau mama tak suka dicium tangannya,” aku membatin menyalahkan suamiku.
Aaah! Ini baru benturan di awal. Seorang lelaki asing yang berdiri dekat dengan kakak ipar perempuanku datang mendekat hendak memberikan pelukan selamat datang. Seketika aku menarik mundur langkahku. Menginjak sepatu suamiku. Hampir saja aku salah tingkah.
“Maaf Peter! Istriku seorang muslim,” suara Abdullah menyelamatkanku dari ketidaknyamanan ini.
Aku membuat gerakan tangan di dada seperti salaman a la sunda. Lelaki itu terkejut. Kami sama-sama terkejut. Tetapi beberapa menit kemudian semuanya mencair setelah suara lelaki paruh baya yang ternyata bapak mertuaku meminta kami segera menuju mobil.
Perjumpaan yang luar biasa. Aku tak tahu bagaimana pandangan pertama keluarga Abdullah terhadap identitasku, muslimah. Aku mulai belajar dengan benturan ini. Suhu dingin kini memaksa masuk. Merasuki satu persatu jari-jari kakiku. Sepatu yang kupakai sudah tak mampu melindungiku. Jaketku sepertinya terlalu tipis untuk hawa dingin saat itu.
Kami terbagi. Terpisah. Aku dan suamiku menuju mobil bapak mertua .Ibu mertua melangkah bersama putri dan menantunya. Koper-koper kami sudah beristirahat di dalam mobil sang paman.
*****
Mobil warna merah yang kami naiki perlahan-lahan meninggalkan bandara Frederick Chopin Warsawa. Melaju dengan kecepatan penuh harmoni mengantarkanku ke tanah Jablonna. Mataku memandang takjub pada gedung-gedung yang unik. Terkadang aku dibuat menoleh pada jejeran pohon yang meranggas. Semuanya asing .Indah dalam keterasingan.
Roda-roda ini kelak akan membawaku pada cerita masa depan tentang pandanganku terhadap negeri ini, Polandia. Tentang ketidakpastian yang jauh lebih indah, munajatku pada Allah Tuhan Yang Merajai.
HABIS
Redaktur: Saad Saefullah
Source: http://ift.tt/1mZirgv
Category: frontpage
0 Response to "Pandangan Pertama di Warsaw Chopin Airport (2-Habis)"
Posting Komentar
Bagaimana menurut kamu??? hmmmmmmmm @_^;