Opini
Selasa 18 Syaaban 1435 / 17 Juni 2014 03:00
Oleh: Irfan S Awwas, Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
SEKIRANYA sejarah berjalan lurus, maka problematika masa depan Indonesia tergantung sejauhmana bangsa Indonesia komitmen terhadap UUD 1945 dan Islam. Selama 68 tahun Indonesia merdeka dan enam kali ganti Presiden, terbukti tidak adanya komitmen terhadap dasar negara dan UUD ’45. Mayoritas rakyat Muslim seakan menelantarkan nasib negeri ini, dikendalikan orang-orang yang anti agama.
Secara konstitusional, dinyatakan bahwa kemerdekaan negeri ini diraih atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa. Pada alinea ketiga Preambule UUD 1945 tegas disebutkan: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerde-kaannya.”
Jadi, negara RI lahir dan merdeka atas berkat rahmat Allah, bukan atas berkat demokrasi, nasionalisme, sekulerisme, liberalisme, dan komunisme. Juga bukan berkat kolonialisme, imprialisme ataupun fasisme. Pengakuan bahwa kemerdekaan Indonesia semata-mata atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa, membuktikan satu fakta bahwa para ulama dan mujahid pejuang kemerdekaan mempersiapkan negeri ini sebagai basis kekuasaan Islam menggantikan penjajah kolonial.
Oleh karena itu pula dasar negara Indonesia, yaitu “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” yang dikenal dengan Piagam Jakarta. Sekalipun sejarah kemudian mencatat, dasar negara dalam Piagam Jakarta itu diperas menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang tercantum dalam UUD ’45 ps 29 ayat 1, tetap saja tidak menghilangkan eksistensi negara RI sebagai negara berlandaskan Tauhid dengan mayoritas terbesar penduduk Muslim.
Artinya, di negara yang berdasarkan Ketuhanan YME tidak boleh ada UU dan aturan hokum yang bertentangan dengan ajaran Tuhan.
Dari perspektif konstitusi, negara RI sejatinya berdiri di atas landasan taqwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Sehingga pelaksanaan Syari’at Islam, seperti tersebut dalam Piagam Jakarta merupakan amanah UUD ’45. Namun sayang sekali, rakyat Muslim justru menelantarkan nasib negeri ini, bahkan menggratiskannya bagi kepentingan yang bertentangan dengan cita-cita kemerdekaan, yaitu sebagai negeri yang berdaulat, adil dan makmur.
Faktanya, Syari’at Islam belum diterima sebagai hukum positif maupun sistem bernegara. Disinilah problematikanya dan yang menyebabkan begitu banyak penyimpangan politik, ideologi dan kekuasaan.
Syari’at Islam dan institusi negara
Syari’at Islam merupakan sistem hidup yang sempurna, benar dan adil. Jaminan atas kesempurnaan itu adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (115) [الأنعام/115]
“Syari’at Tuhanmu telah sempurna, dan seluruh Syari’at Tuhanmu benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah Syari’at Tuhanmu yang benar dan adil itu. Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (Qs. Al-An’am, 6:115)
Sebagai konsekuensi dari keyakinan atas kesempurnaan Islam, maka dalam hal-hal yang bersifat prinsip seperti aqidah, ibadah, akhlak, dan muamalah, umat Islam tidak memerlukan nasihat dari agama lain. Dalam segala urusan umat Islam tidak perlu meminta petunjuk demokrasi, baik dalam mengurus negara, keluarga dan masyarakat. Al-Qur’an telah menasihatkan:
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ (116) [الأنعام/116]
“Wahai Muhammad, jika kamu menuruti kemauan sebagian besar manusia di muka bumi, niscaya mereka akan menyesatkan kamu dari agama Allah. Karena sebagian besar manusia hanya mengikuti angan-angan yang dibisikkan oleh hawa nafsu mereka, dan mereka hanyalah mengikuti slogan-slogan kosong.” (Qs. Al-An’am, 6:116)
Berbeda dengan kebanyakan orang Islam di zaman sekarang, ideologi jahiliyah seperti demokrasi, membelenggu pikiran dan amaliyahnya. Mereka yang anti demokrasi, menolak segala hal jika diperkirakan ada kaitannya dengan demokrasi, seperti Pemilu dalam memilih presiden, voting dan musyawarah. Sebaliknya para pendukung demokrasi, menolak atau menerima sesuatu parameternya, apakah sesuai dengan demokrasi atau tidak.
Adalah fakta, betapa banyak dari tokoh-tokoh Islam mislanya, baru diundang sekali ke Iran, pulang ke Indonesia berubah jadi pendukung Syi’ah. Kuliah di Amerika, mendapat gelar Doktor, pulang ke Indonesia menjadi pembela dan pejuang demokrasi. Tetapi yang lebih mengherankan, kuliah beberapa tahun di Mesir, Madinah, Makkah, Sudan, pulang dengan gelar Doktor, M.A., Lc., semestinya menjadi pemikir dan Duta Islam; tapi malah menentang berlakunya Syari’at Islam dengan alasan ideologi transnasional.
Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menjadikan ideologi jahiliyah sebagai agenda pembicaraan dalam dakwah beliau. Sekalipun pemikir demokrasi seperti Aristoteles, hidup jauh sebelum Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus sebagai Nabi dan Rasul, beliau tidak pernah menyibukkan diri dengan pembicaraan tentang demokrasi. Karena semua yang bertentangan dengan Syari’at Islam adalah bathil. Tetapi sejak awal dakwahnya, beliau mempersiapkan kader militan sebagai pemimpin masa depan, yang memiliki komitmen dan loyalitas kepada Islam. Termasuk mempersiapkan segala hal yang diperlukan untuk membangun negara, untuk menggantikan dominasi imperium Romawi maupun Persia.
BERSAMBUNG
Redaktur: Saad Saefullah
Source: http://ift.tt/1ltiPZj
Category: frontpage
0 Response to "Indonesia dalam Perspektif Konstitusi dan Kitab Suci (1)"
Posting Komentar
Bagaimana menurut kamu??? hmmmmmmmm @_^;